Senin, 15 April 2013

Untukmu BARITO PUTRA


Terserah kalian mau bilang apa, yang penting saling menghargai apa yang telah kita masing-masing lakukan tanpa menggurui apa lagi menghantui.......(kunti kali...hehehehe).Apapun hasilnya yang kita capai, tetaplah selalu berusaha pantang menyerah "jalasan Hangit, jadi habu ha pulang... ya tatap kada babukahan . Semangat pantang menyerah yang diperagakan para punggawa Barito Putra dalam mempertahankan jantung pertahanan meraka patut kita acungkan jempol, meskipun agak sedikit ngotot.....heheeee ! Tapi meraka bisa mencapai hasil yang bagus dan sangat membahayakan tim-tim lawan.
Haram Manyarah Waja Sampai kaputing, kurang lebih artinya adalah berusaha sampai akhir, tidak boleh menyerah, tidak mudah putus asa. Slogan yang akrab ditelinga para orang-orang Banjar ini memberi dampak psikologis yang positif. Khusus para pemain Barito Putra yang gigih dan tak pernah putus asa dalam menyerang dan mempertahankan area kotak finalti serta lapangan tengah dari serangan musuh. Slogan ini dulunya dipergunakan para pejuang Kalimantan Selatan. Ungkapan ini diucapkan pertama kali oleh Pangeran Antasari, sebagai Generasi Muda kita harus bisa untuk melihat banyak pelajaran dari sebuah kata yang sangat memberikan semangat perjuangan untuk melawan penjajah waktu itu.

Pantang Menyerah "Haram Manyarah", seperti yang disebelumnya semboyan itu untuk menguatkan kita untuk tidak akan pernah menyerah begitu saja, dalam suatu pekerjaan / bisnis pasti akan mendapatkan suatu masalah tapi impossible is nothing jadi tetap berusaha pantang menyerah itu kuncinyya, dan tetaplah berusaha dan berusaha.

"Waja Sampai Kaputing" (Terbuat dari baja mulai pangkal sampai ke ujungnya) maksudnya perjuangan yang tak pernah berhenti hingga tetes darah penghabisan.

slogan ini sangat familiar bagi warga Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan, karena ungkapan ini juga menjadi motto provinsi Kalimantan Selatan ("Waja Sampai Ka Puting") slogan ini  juga sangat memberi dampak positif bagi para Pemain Barito Putra serta para sportif fanatiknya dalam memberikan semangat dan dukungan buat tim kesayangannya.

Haram  Manyarah  Waja Sampai Kaputing (untukumu Barito Putra)

Rabu, 06 Februari 2013

SIAPA PENCIPTA HYMNE GURU

Mengenal Sartono - Pencipta Hymne Guru

sartono pencipta hymne guru
gambar : bapak Sartono

Siapa yang tak kenal lagu ini lirik hymne guru berjudul “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa“? Masih terngiang betapa di era 1980-an, lagu ini sangat sering dinyanyikan di sekolah-sekolah. Sebab setiap upacara bendera pada hari Senin, lagu ini selalu dinyanyikan.
Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada para guru. Siapa sangka bila /2013/02/pak-sartono-pencipta-hymne-guru.html">“sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya, Sartono, pencipta lagu yang juga guru itu di masa senjanya hidup dalam kesederhanaan. Laki- laki asal Madiun yang genap berusia 72 tahun, 29 Mei ini, tinggal rumah sederhana di Jalan Halmahera 98, Madiun. Sejak ia mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga “pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS. “Katanya sih sering diajukan nama saya, tetapi sampai saya pensiun dari tugas sebagai guru, PNS untuk saya kok tidak datang juga,” kata Sartono.

Sartono memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Ia mengajar di SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus, berbekal bakatnya di bidang musik. Sartono yang beragama Islam itu melamar di Santo Bernadus berbekal sertifikat pengalaman kerja di Lokananta, perusahan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.

Hidup serba dalam kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Ia merasa terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati, BA, 59 tahun, isterinya yang guru PNS. Damiyati dinikahi Sartono pada 1971. Dari pernikahan mereka belum jua dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman biasa manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya.

Kehidupan sehari-harinya kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1 juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar, gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000 per bulan. “Gaji saya sangat rendah, bahkan mungkin paling rendah diantara guru-guru lainnya,” katanya mengenang masa lalunya.

Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.

BERMULA DARI LOKANANTA

Jalan menjadi guru berawal dari kegemarannya bermain musik. Putra sulung dari lima bersaudara ini sebenarnya lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R. Soepadi adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil memang suka bermain musik secara otodidak. Namun, hidup nyaman tak bisa dirasakan berlama-lama. Ketika ia berusia 7 tahun, Jepang menduduki Indonesia. Ayahnya pun tak lagi menjabat camat.

Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya. Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya Lupa tahun berapa itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang mengaku sudah susah mengingat tahun.

Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.

DARI SECARIK KORAN
Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bis menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.

Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.

Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius,” katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya.”

Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”

“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.

Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya. Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.

PENGHARGAAN MINIM

Lagunya melambung, Sartono tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terimakasih. Nampak piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005. Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah keyboard.

Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000. Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.

Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.

Pergantian lirik lagu hymne

Pergantian lirik lagu hymne guru pada kalimat terakhir telah disepakati dan ditandatangani pada tanggal november 2007 disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas dan ketua pengurus besar PGRI dan juga dengan diperkuat dengan surat edaran Persatuan Guru Republik Indonesia
Nomor : 447/Um/PB/XIX/2007 tanggal 27 November 2007
berikut liriknya
yang lama diatas
dan yang baru dibawah

Hymne Guru


Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa


Cipt. Sartono

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Pembangun insan cendikia

Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne bagi para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi Seorang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Semoga kita dapat meneladani sikap dan tanggung jawab beliau... Amin

Minggu, 11 November 2012

BATAMAT QUR'AN


Batamat Qur’an adalah upacara di daerah Kalimantan Selatan yang menandai bahwa seorang anak telah menyelesaikan pelajaran membaca Al-Qur’an. Umumnya si anak berusia antara 9-10 tahun, karena pelajaran membaca Al-Qur’an dimul
ai pada usia 6-7 tahun.

Batamat Qur’an bisa disebut sebagai bentuk “wisuda” tradisional yang menandai bahwa si anak sudah mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai makhraj dan kaidah tajwid. Acara ini digelar oleh orang tua si anak yang telah menamatkan pelajaran membaca Al-Qur’an tersebut secara pribadi, namun bisa juga diselenggarakan dengan teman-temannya yang lain secara bersama-sama, jika kebetulan mereka menyelesaikan pelajaran membaca al-Qur’an dalam waktu bersamaan.

Acara dihadiri oleh teman-teman si anak, para tetangga, dan handai tolan lainnya. Acara bisa diadakan di rumah guru tempat belajar mengaji, di masjid atau langgar, atau bisa juga di rumahnya sendiri.

Di dalam prosesinya, setelah pembukaan yang didahului dengan pembacaan al-Fatihah oleh pimpinan acara yang biasanya guru mengaji si anak atau kiai setempat, si anak kemudian disuruh membaca Al-Qur’an secara tartil mulai surat ad-Dhuha (QS: 93) hingga surat an-Naas (QS: 114).

Jika yang melaksanakan batamat adalah beberapa anak, maka surat-surat itu dibaca secara bergantian. Bagian akhir dari setiap surat akan dibaca secara bersama-sama (koor). Jika terjadi kekeliruan dalam membaca, guru mengaji yang membimbingnya segera mengoreksi dan membenarkannya. Para hadirin menyaksikan dan mendengarkan pembacaan itu dengan saksama.

Di dalam upacara ini, orang tua si anak akan menyajikan ketan yang dibentuk seperti gunungan, bagian atasnya dikasih inti (kelapa parut yang dikasih gula), di lereng sekelilingnya terdapat telur pindang, dan beberapa bendera kertas dengan batang bambu yang ditancapkan, serta kembang sarai. Beras ketan yang bersifat lengket melambangkan suatu pengharapan agar pengetahuan dan kesetiaan si anak pada ajaran Al-Qur’an terus melekat, lestari, dan abadi sepanjang hidupnya.

Ketika pembacaan sampai pada permulaan surat al-Fiil (QS: 105), telur pindang yang menghiasi gunungan ketan diambil dan diserahkan kepada anak yang menjalani acara batamat. Setelah pembacaan al-Qur’an selesai, disambung dengan pembacaan bagian awal surat al-Baqarah (QS: 2) dan doa khatmul Qur’an yang dipimpin oleh si guru mengaji atau mualim setempat.

Seusai doa, anak-anak biasanya akan ramai memperebutkan hiasan-hiasan pada gunungan ketan, sedangkan orang dewasa disuguhi makanan ketan dan telur yang telah disajikan. Untuk memeriahkan acara, kue yang disajikan kadang-kadang lebih banyak dan bervariasi seperti wajik, dodol, dan lain-lain.

Upacara Batamat Qur’an juga menjadi bagian dari prosesi perkawinan di kalangan masyarakat Banjar. Hal ini terutama berlaku bagi calon pengantin yang belum pernah tamat al-Qur’an atau belum melakukan acara Batamat Qur’an.

Maknanya, dengan acara itu, calon pengantin sudah dinyatakan siap untuk menikah, berkeluarga, dan mengarungi hidup karena sudah selesai mempelajari al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Dengan demikian, acara ini lebih banyak bersifat formal-simbolis.

Pernik-pernik acara Batamat Qur’an sebagai bagian dari prosesi perkawinan ini umumnya lebih kompleks, meski rangkaian acaranya kurang lebih sama. Acara biasanya dilakukan sehari sebelum persandingan, baik bagi calon pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan yang digelar di tempat terpisah.

Calon pengantin dengan berpakaian muslim atau muslimah (kalau laki-laki menggunakan baju koko atau jas, sarung, dan peci, sedangkan perempuan menggunakan jilbab atau kerudung, sarung, dan baju kurung) yang akan menjalankan acara duduk di atas lapik, yang dialasi kain putih atau sajadah. Lapik ini bagian dari saji yang akan dihadiahkan kepada guru mengajinya. Acara dipimpin oleh guru mengaji atau kiai setempat dan dihadiri oleh teman dan handai tolan. Sesajian berupa kue di dalam acara ini lebih bermacam-macam, seperti nasi lemak kuning, telur dadar, wajik, dan telur bebek rebus. Kadang-kadang acara ini disertai makan besar di akhirnya untuk para undangan dan tamu yang mengikuti acara. (Sumber: Ensiklopedi NU)
Foto: BATAMAT QUR'AN

Batamat Qur’an adalah upacara di daerah Kalimantan Selatan yang menandai bahwa seorang anak telah menyelesaikan pelajaran membaca Al-Qur’an. Umumnya si anak berusia antara 9-10 tahun, karena pelajaran membaca Al-Qur’an dimulai pada usia 6-7 tahun.

Batamat Qur’an bisa disebut sebagai bentuk “wisuda” tradisional yang menandai bahwa si anak sudah mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai makhraj dan kaidah tajwid. Acara ini digelar oleh orang tua si anak yang telah menamatkan pelajaran membaca Al-Qur’an tersebut secara pribadi, namun bisa juga diselenggarakan dengan teman-temannya yang lain secara bersama-sama, jika kebetulan mereka menyelesaikan pelajaran membaca al-Qur’an dalam waktu bersamaan. 

Acara dihadiri oleh teman-teman si anak, para tetangga, dan handai tolan lainnya. Acara bisa diadakan di rumah guru tempat belajar mengaji, di masjid atau langgar, atau bisa juga di rumahnya sendiri.

Di dalam prosesinya, setelah pembukaan yang didahului dengan pembacaan al-Fatihah oleh pimpinan acara yang biasanya guru mengaji si anak atau kiai setempat, si anak kemudian disuruh membaca Al-Qur’an secara tartil mulai surat ad-Dhuha (QS: 93) hingga surat an-Naas (QS: 114). 

Jika yang melaksanakan batamat adalah beberapa anak, maka surat-surat itu dibaca secara bergantian. Bagian akhir dari setiap surat akan dibaca secara bersama-sama (koor). Jika terjadi kekeliruan dalam membaca, guru mengaji yang membimbingnya segera mengoreksi dan membenarkannya. Para hadirin menyaksikan dan mendengarkan pembacaan itu dengan saksama.

Di dalam upacara ini, orang tua si anak akan menyajikan ketan yang dibentuk seperti gunungan, bagian atasnya dikasih inti (kelapa parut yang dikasih gula), di lereng sekelilingnya terdapat telur pindang, dan beberapa bendera kertas dengan batang bambu yang ditancapkan, serta kembang sarai. Beras ketan yang bersifat lengket melambangkan suatu pengharapan agar pengetahuan dan kesetiaan si anak pada ajaran Al-Qur’an terus melekat, lestari, dan abadi sepanjang hidupnya.

Ketika pembacaan sampai pada permulaan surat al-Fiil (QS: 105), telur pindang yang menghiasi gunungan ketan diambil dan diserahkan kepada anak yang menjalani acara batamat. Setelah pembacaan al-Qur’an selesai, disambung dengan pembacaan bagian awal surat al-Baqarah (QS: 2) dan doa khatmul Qur’an yang dipimpin oleh si guru mengaji atau mualim setempat. 

Seusai doa, anak-anak biasanya akan ramai memperebutkan hiasan-hiasan pada gunungan ketan, sedangkan orang dewasa disuguhi makanan ketan dan telur yang telah disajikan. Untuk memeriahkan acara, kue yang disajikan kadang-kadang lebih banyak dan bervariasi seperti wajik, dodol, dan lain-lain.

Upacara Batamat Qur’an juga menjadi bagian dari prosesi perkawinan di kalangan masyarakat Banjar. Hal ini terutama berlaku bagi calon pengantin yang belum pernah tamat al-Qur’an atau belum melakukan acara Batamat Qur’an. 

Maknanya, dengan acara itu, calon pengantin sudah dinyatakan siap untuk menikah, berkeluarga, dan mengarungi hidup karena sudah selesai mempelajari al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Dengan demikian, acara ini lebih banyak bersifat formal-simbolis.

Pernik-pernik acara Batamat Qur’an sebagai bagian dari prosesi perkawinan ini umumnya lebih kompleks, meski rangkaian acaranya kurang lebih sama. Acara biasanya dilakukan sehari sebelum persandingan, baik bagi calon pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan yang digelar di tempat terpisah. 

Calon pengantin dengan berpakaian muslim atau muslimah (kalau laki-laki menggunakan baju koko atau jas, sarung, dan peci, sedangkan perempuan menggunakan jilbab atau kerudung, sarung, dan baju kurung) yang akan menjalankan acara duduk di atas lapik, yang dialasi kain putih atau sajadah. Lapik ini bagian dari saji yang akan dihadiahkan kepada guru mengajinya. Acara dipimpin oleh guru mengaji atau kiai setempat dan dihadiri oleh teman dan handai tolan. Sesajian berupa kue di dalam acara ini lebih bermacam-macam, seperti nasi lemak kuning, telur dadar, wajik, dan telur bebek rebus. Kadang-kadang acara ini disertai makan besar di akhirnya untuk para undangan dan tamu yang mengikuti acara. (Sumber: Ensiklopedi NU) 

Manusia Adalah Sebuah Buku

Manusia Adalah Sebuah Buku

Halaman depan buku merupakan sebuah tanggal lahir.
Halaman belakang buku merupakan tanggal kematian .
Tiap lembar halamannya adalah setiap dari dalam hidup kita.
Apa saja yang kita lakukan tercatat di dalam buku yang kita miliki masing-masing.

Ada buku tebal, ada buku yang tipis, ada buku menarik yang untuk dibaca......
Ada pula buku yang sama sekali tidak menarik dibaca ....

Sekali tertulis, tidak akan pernah bisa diubah  lagi,
Tapi hebatnya......

Seburuk apapun halaman sebelumnya.
Selalu tersedia halaman selanjutnya yang putih bersih, baru dan tiada cacat.

Sama dengan hidup kita. Seburuk apapun kemarin.
Kita selalu  memiliki kesempatan untuk hari yang baru.
Kita selalu punya kesempatan baru untuk melakukan sesuatu yang benar  dalam hidup kita setiap hari.
Kita selalu dapat memperbaiki kesalahan kita.

Syukuri hari ini....

Mulailah mengisi halaman buku kehidupanmu dengan hal-hal yang baik semata.
Agar pada saat halaman terakhir .....

Buku kehidupan itu layak untuk dijadikan teladan bagi anak-anak kita dan juga orang lain.