Selasa, 21 Mei 2013

Tetorial Print Verifikasi Data Guru PTK

Ini adalah cara sederhana untuk membuat data WEB menjadi PDF agar bisa diprint out sebagai bukti pekerjaan seorang operator, apabila nanti para guru menanyakan tentang data verifikasi PTK dan meminta print out-nya.

langsung aja kita siapkan bahan-bahannya.

Tutorialnya menggunakan browser Firefox

Download perlengkapannya dulu.
 Untuk Browser Firefox klik di sini 
 Untuk Browser Chrome Klik di sini



Setelah kita klik add to firefox kita tunggu sampai proses download selesai. Ukuran filenya
kurang lebih 2 mb. Setelah download selesai nanti akan ada perintah untuk menginstall. lihat gambar

 Langsung aja install sampai ada perintah restart, kemudian kita restart browsernya. Apabila sudah direstart nanti akan ada addon dengan huruf "S" tertempel di pojok kanan atas, lihat gambar

Apabila ada simbol pada gambar di atas, itu artinya kita sudah berhasil menginstall addon fireshot di browser FireFox. Langkah berikutnya kita klik menu yang ada di blog ini untuk masuk ke website verifikasi ptk, lihat gambar

Maka kita akan menuju website verifikasi data PTK, masukan data ptk yang akan kita print


Setelah memasukan data ptk yang akan diprint, selanjutnya klik login, maka kita akan masuk pada informasi data ptk
Tahap selanjutnya kita akan masuk pada proses pembuatan ektensi pdf agar data tersebut bisa kita print. Maka kita menuju addon yang sudah kita install  yang letaknya dipojok kanan atas
Pada tahap ini kita jangan mengklik lambang S tetapi yang kita klik adalah menu dropdownnya lihat gambar.
Selanjutnya kita save as pdf maka akan muncul perintah untuk menyimpan file tersebut dalam format PDF. Maka akan mencul menu save. Silahkan disave dan direname filename-nya sesuai dengan data ptk yang bersangkutan



Setelah kita klik save maka akan muncul menu apakah kita akan melihat hasil pekerjaan kita atau tidak, sebaiknya klik yes, agar kita tahu di mana file tersebut tersimpan.


Ini hasilnya sudah dalam bentuk PDF, tinggal kita buka dan print.
Demikian sedikit tutorial ini, semoga bermanfaat bagi temen-temen operator dan juga temen-temen guru.

(Salamat  bekerja dan tetap semangat sebagai operator sekolah)

Biar haja orang baucap napa kah kada usah tapi digaduhi, nang penting gawian kita jangan sampai taliwatakan, apalagi sampai tabangkalai......han tia kaluar bahasa aslinya......hehehehe !!! 

Senin, 20 Mei 2013

Festival Adat Dayak Kalimantan 27-30 April 2013 di Jakarta



Hampir lima ribu orang masyarakat adat Dayak di Kalimantan mengikuti parade kebudayaan bertajuk Art Dayak Carnaval pada Minggu (28/4) di Istora Bung Karno. Karnaval ini dibuka langsung oleh Presiden Majelis Adat Dayak Nasional Agustin Teras Narang sekitar pukul 10.00 WIB. Pada karnaval itu, semua karya seni dan budaya Dayak ditampilkan. Tua muda, laki dan perempuan turun memeriahkan Art Dayak Carnaval tersebut. Kendati berjalan kaki hingga tiga kilometer, peserta karnaval tetap bersemangat. “Hidup Dayak, hidup Dayak,” teriak sejumlah peserta karnaval. Karnaval dimulai melalui rute halaman Istora Bung Karno, masuk Jalan Jenderal Sudirman, naik Jembatan Semanggi, kembali ke Jalan Sudirman, terus memutar Bundaran Senayan, dan berakhir masuk pintu satu istora. Presiden MADN Agustin Teras Narang mengungkapkan, parade budaya ini salah satu bentuk memperkenalkan beragam kebudayaan milik Dayak di Indonesia. “Selama ini hanya dikenal pada beberapa tempat. Ini kolaborasi untuk lima Kalimantan. Ini menunjukkan kalau kita punya kebudayaan yang luar biasa,” kata Teras sesaat melepas peserta Dayak Art Carnaval. Ia menambahkan, pawai kebudayaan itu untuk memperlihatkan bahwa Dayak itu punya makna dan eksis. “Ini suatu aset bagi bangsa dan negara. Selama ini diklaim oleh negara tetangga bahwa kita hanya di negara tetangga. Nah, inilah salah satu bentuk agar klaim itu hilang,” ungkapnya. Menurut Teras, masih banyak seni budaya Dayak yang perlu digali. Ini hanya sebagian kecil. Walau begitu, semua orang Dayak di Kalimantan sudah berpartisipasi. Tahun depan akan dipercayakan pada salah satu provinsi di Kalimantan untuk menjadi tuan rumah. “Ini adalah tendangan pertama kita,” tegasnya. Bendahara MADN Kalimantan Barat Marselina Mariani Soeryamasoeka mengatakan, Dayak karnaval sebagai media informasi tentang budaya Dayak. “Agar masyarakat luas tahu bahwa budaya Dayak itu begitu beradab. Mereka menampilkan berbagai atribut dayak, pakaian, dan asesori,” tambahnya. Namun, dia menyayangkan kegiatan karnaval yang dilaksanakan pada hari Minggu. “Harusnya dilaksanakan pada hari kerja sehingga lebih banyak lagi masyarakat yang menontonnya,” ujarnya. Setelah kembali ke lokasi start, peserta Dayak Art Carnaval disambut Gubernur Kalbar Cornelis didamping istrinya, Frederika. Ada juga Wakil Bupati Sanggau Paolus Hadi dan istrinya. Kepada peserta kontingen, Cornelis berpesan agar kontingen Kalbar bisa menampilkan atraksi yang terbaik.
( Jakarta, Aktual.co)

Anak Pedalaman Beranjak Modern


 Kebudayaan di Indonesia memang beraneka ragam. Benarlah jika Bineka Tunhggal Ika, dijadikan semboyan bangsa Indonesia yang kaya akan pesona budayanya. Salah satunya adalah Suku Dayak. Jika Amerika Serikat memiliki suku Indian yang ternama itu, Indonesia juga tak kalah. Negara ini memiliki berbagai macam suku dan adat istiadat yang menarik untuk ditelisik. Salah satunya adalah Suku Dayak. Suku asli Kalimantan ini bisa dibilang sebagai Indian nya Indonesia. Perbandingan memang tak berdasar. Namun, sebagian masyarakat kerap membandingkan Dayak dan Indian yang berada jauh di sana. Mungkin karena awalnya suku Dayak memiliki keunikan dalam pakaian adat. Lalu berkembang kemudian soal rumah tinggal, adat istiadat, sistem sosial, dan kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Namun, seiring perkembangan zaman, kebudayaan Dayak juga mengalami pergeseran. Salah satu dusun suku Dayak terdapat di Nanga Nyabo, tepatnya di Kapuas Hulu. Pada zaman dahulu, di sini masih lengket dengan kebudayaan asli, dari rumah tinggal, perilaku,hukum adat hingga busana sehari-hari. Kini, daerah di sini hampir sama dengan daerah lainnya di pulau Kalimantan. Mungkin hukum adat masih berlaku di sana. Tetapi, soal pakaian tradisional yang dulunya dikenakan sehari-hari, kini telah berubah. Lihat saja, anak-anak Dayak yang tinggal di Nanga Nyabo, tak ubahnya seperti bocah zaman sekarang, yang mengenakan pakaian biasa. Yang unik adalah, mereka masih tinggal di rumah Betang. Rumah Betang merupakan rumah adat asli suku Dayak. Rumah Betang tak jauh berbeda dengan Rumah Panggung. Dasar rumah dibuat dari kayu atau bambu. Bentuk rumah memanjang, dengan bagian depan yang dibuat bertingkat. Rumah Betang terlihat berupa bangunan tinggi dari permukaan tanah. Konon, hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda. Sebuah rumah Betang bisa ditinggali oleh beberapa keluarga. Karena struktur bangunan yang memanjang dan luas. Namun, banyak juga dari mereka yang memilih untuk tinggal sekeluarga saja. Mata pencaharian Suku Dayak kebanyakan adalah nelayan dan petani. Karena tempat ini dekat dengan Sungai Kapuas dan juga perkebunan. Inilah Suku Dayak masa kini. Sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan mitos-mitos yang dulu sempat ada di masa lalu. Tetapi di balik kehidupan modern, masyarakat Suku Dayak tetap memegang teguh adat-istiadat mereka, tentunya dengan perkembangan yang positif di masa kini.

Selasa, 30 April 2013

The Eyang SuburMan

Eyang subur dengan segala aktifitasnya dikalangan para artis menjadi fenomena yang menghebuhkan tahun 2013 ini, berbagai media pun tidak ketinggalan dengan berita yang menghebohkan .........

Senin, 15 April 2013

Untukmu BARITO PUTRA


Terserah kalian mau bilang apa, yang penting saling menghargai apa yang telah kita masing-masing lakukan tanpa menggurui apa lagi menghantui.......(kunti kali...hehehehe).Apapun hasilnya yang kita capai, tetaplah selalu berusaha pantang menyerah "jalasan Hangit, jadi habu ha pulang... ya tatap kada babukahan . Semangat pantang menyerah yang diperagakan para punggawa Barito Putra dalam mempertahankan jantung pertahanan meraka patut kita acungkan jempol, meskipun agak sedikit ngotot.....heheeee ! Tapi meraka bisa mencapai hasil yang bagus dan sangat membahayakan tim-tim lawan.
Haram Manyarah Waja Sampai kaputing, kurang lebih artinya adalah berusaha sampai akhir, tidak boleh menyerah, tidak mudah putus asa. Slogan yang akrab ditelinga para orang-orang Banjar ini memberi dampak psikologis yang positif. Khusus para pemain Barito Putra yang gigih dan tak pernah putus asa dalam menyerang dan mempertahankan area kotak finalti serta lapangan tengah dari serangan musuh. Slogan ini dulunya dipergunakan para pejuang Kalimantan Selatan. Ungkapan ini diucapkan pertama kali oleh Pangeran Antasari, sebagai Generasi Muda kita harus bisa untuk melihat banyak pelajaran dari sebuah kata yang sangat memberikan semangat perjuangan untuk melawan penjajah waktu itu.

Pantang Menyerah "Haram Manyarah", seperti yang disebelumnya semboyan itu untuk menguatkan kita untuk tidak akan pernah menyerah begitu saja, dalam suatu pekerjaan / bisnis pasti akan mendapatkan suatu masalah tapi impossible is nothing jadi tetap berusaha pantang menyerah itu kuncinyya, dan tetaplah berusaha dan berusaha.

"Waja Sampai Kaputing" (Terbuat dari baja mulai pangkal sampai ke ujungnya) maksudnya perjuangan yang tak pernah berhenti hingga tetes darah penghabisan.

slogan ini sangat familiar bagi warga Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan, karena ungkapan ini juga menjadi motto provinsi Kalimantan Selatan ("Waja Sampai Ka Puting") slogan ini  juga sangat memberi dampak positif bagi para Pemain Barito Putra serta para sportif fanatiknya dalam memberikan semangat dan dukungan buat tim kesayangannya.

Haram  Manyarah  Waja Sampai Kaputing (untukumu Barito Putra)

Rabu, 06 Februari 2013

SIAPA PENCIPTA HYMNE GURU

Mengenal Sartono - Pencipta Hymne Guru

sartono pencipta hymne guru
gambar : bapak Sartono

Siapa yang tak kenal lagu ini lirik hymne guru berjudul “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa“? Masih terngiang betapa di era 1980-an, lagu ini sangat sering dinyanyikan di sekolah-sekolah. Sebab setiap upacara bendera pada hari Senin, lagu ini selalu dinyanyikan.
Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada para guru. Siapa sangka bila /2013/02/pak-sartono-pencipta-hymne-guru.html">“sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya, Sartono, pencipta lagu yang juga guru itu di masa senjanya hidup dalam kesederhanaan. Laki- laki asal Madiun yang genap berusia 72 tahun, 29 Mei ini, tinggal rumah sederhana di Jalan Halmahera 98, Madiun. Sejak ia mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga “pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS. “Katanya sih sering diajukan nama saya, tetapi sampai saya pensiun dari tugas sebagai guru, PNS untuk saya kok tidak datang juga,” kata Sartono.

Sartono memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Ia mengajar di SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus, berbekal bakatnya di bidang musik. Sartono yang beragama Islam itu melamar di Santo Bernadus berbekal sertifikat pengalaman kerja di Lokananta, perusahan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.

Hidup serba dalam kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Ia merasa terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati, BA, 59 tahun, isterinya yang guru PNS. Damiyati dinikahi Sartono pada 1971. Dari pernikahan mereka belum jua dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman biasa manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya.

Kehidupan sehari-harinya kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1 juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar, gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000 per bulan. “Gaji saya sangat rendah, bahkan mungkin paling rendah diantara guru-guru lainnya,” katanya mengenang masa lalunya.

Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.

BERMULA DARI LOKANANTA

Jalan menjadi guru berawal dari kegemarannya bermain musik. Putra sulung dari lima bersaudara ini sebenarnya lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R. Soepadi adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil memang suka bermain musik secara otodidak. Namun, hidup nyaman tak bisa dirasakan berlama-lama. Ketika ia berusia 7 tahun, Jepang menduduki Indonesia. Ayahnya pun tak lagi menjabat camat.

Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya. Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya Lupa tahun berapa itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang mengaku sudah susah mengingat tahun.

Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.

DARI SECARIK KORAN
Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bis menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.

Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.

Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius,” katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya.”

Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”

“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.

Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya. Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.

PENGHARGAAN MINIM

Lagunya melambung, Sartono tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terimakasih. Nampak piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005. Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah keyboard.

Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000. Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.

Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.

Pergantian lirik lagu hymne

Pergantian lirik lagu hymne guru pada kalimat terakhir telah disepakati dan ditandatangani pada tanggal november 2007 disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas dan ketua pengurus besar PGRI dan juga dengan diperkuat dengan surat edaran Persatuan Guru Republik Indonesia
Nomor : 447/Um/PB/XIX/2007 tanggal 27 November 2007
berikut liriknya
yang lama diatas
dan yang baru dibawah

Hymne Guru


Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa


Cipt. Sartono

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Pembangun insan cendikia

Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne bagi para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi Seorang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Semoga kita dapat meneladani sikap dan tanggung jawab beliau... Amin